Sabtu, 21 Januari 2012

The. Reason. Is. You.

#August 2010


#September 2010


#October 2010


#November 2010


#December 2010


#January 2011


#February 2011


#March 2011 


#April 2011 


#May 2011



#June 2011




#July 211




#August 2011




#December 2011


#January 2012



Selasa, 17 Januari 2012

Tidur Tidak Sama dengan Tewas

17 Januari 2012,
mungkin kalo hari ini ada piala nominasi 'pelajar terbego dan pecinta kasur sejati'
bakal jatuh ke tangan gue.

16 Januari 2012, rutinitas monoton seperti biasa, bel akhir pelajaran di Majlis (baca; sekolah) berdentum sedikit lebih awal dari biasanya, jadwal pulang dari Majlis dan jadwal perndopokan antar sesama pelajar Majlis otomatis maju menjadi lebih awal pula. Dan ini sebuah anugerah terindah selama masih menjadi anggota resmi Majlis yang berada tidak jauh dari pusat kota, pusat persewaan odong-odong dan wahana paud lainnya, pulang awal dan bercengkrama dengan kasur lebih awal.
Kebetulan viar (baca; motor) klewus dan topi keledai (baca; helm) setia nemenin gue di hari anugerah itu, 16 Januari 2012, dengan begitu gue nggak perlu matung dan luntang-lantung di pinggir jalan nunggu angkutan umum yang belum pasti kejelasan juga kelayakannya, angkutan mewah, atau angkutan aroma gesek pantai selatan. Yang jelas hari itu gue absen dari Modista, Bintang, Dua Dara, dan terbebas jebakan maut dari angkutan yang fisiknya menipu, tampak berkilau dari luar, tapi ladang gesek pantai dalamnya.
Kurang dari 25 menit jarak kamar dari gerbang Majlis tempat gue belajar bareng guru-guru terkasihi. Begitu sampe rumah, mata ini menjadi 3x lebih fokus ke kamar yang dari kejauhan berkilau dan disitu tersedia fasilitas seperangkat kasur empuk + bantal guling yang menggoda. Langsung gue rebahin badan dan update lewat stupid phone tentang suasana hati siang itu. Rencana tidur siang berkelanjutan jadi tidur sore dan jadi tidur setengah sore-malam, jam 7 malem gue bangun, sengaja gue siapin kapasitas mata 15 watt lebih kuat dari biasanya buat begadang malemnya. Kebetulan nyokap ada urusan pereibu-ibuan jadi harus pergi dan gue ditinggal kurang lebih 2 hari. Sendiri.
Takut. Tempat tinggal gue ada di gang yang begitu keluar rumah bisa liat pemakaman yang terbentang luas di depan jidat. Iya, gue sendiri, kebetulan hujan, dan kelaparan yang mendewa bujana. Masalah pocong/hantu bungkus/candy jump atau kuntilanak/hantu kutilan yang gendong anak sebenernya bukan alasan primer kenapa gue takut. Justru gue takut karena penyandang predikat 'pecinta kasur sejati' masih dipegang gue. Apalagi malem itu hujan turun dengan manjanya, dan ini memperkuat kemungkinan gue bangun siang sepersekian persen. Gue susah merem. Ternyata godaan bantal masih kalah saing. Begadang-Rhoma Irama.
Semua usaha. Stupid phone sengaja gue setting anti kalem, volume maksimal soalnya gue sadar punya masalah terkronis yang mengakar ke otak dan susah buat diilangin, gue khawatir penyakit kronis ini mendarah daging dan jatuh diketurunan selanjutnya, susah bangun, semacam orang tewas ketika terlelap. Bahaya.
Mungkin Dewi Fortuna sedang berkencan dengan Dewa Bujana. Keberuntungan meleset jauh. GUE KESIANGAN. 10.03!!!!!!!!! Oh *scream
Masih setengah jiwa, sebagian absen ke dunia, dan kesadaran gue yang sebagian masih di alam fana. Sambil kucek mata, sambil ngibasin poni, sambil senam otot (re; ngulet) gue melirik ke jam dinding butut yang baru sehari jatuh dan menimbulkan kerusakan fatal, kaca pecah tambahan jarum-jarumnya keriting, tapi masih setia gue pajang walaupun penunjuk waktunya sedikit rancu akibat jarum yang keriting-keriting. Reflek. Gue bangun dan terjun dari kasur langsung berdiri. Ibarat gerakan tersengat aliran listrik. Kaget dan tegang. Antara bingung, takut, dan bingung kemudian takut lagi. Gue kibasin poni lagi. Dan ini nyata gue kesiangan.
Gue ambil seribu langkah atau langkah seribu, gue kurang paham. Yang jelas bingung ini meningkat begitu liat stupid phone. 15 pesan masuk. 9 panggilan tak terjawab. Itu semua dari nyokap, bokap, dan pelajar satu Majlis gue. Galau.

Banyak options yang muncul di ubun-ubun.
  • Antara gue langsung berangkat ke Majlis dan bawa seragam terus mandi cuci kakus di kamar mandi Majlis itu juga,
  • atau gue siap-siap berangkat dan begitu sampe gue pura-pura mati di depan BK dengan begitu gue bisa dilarikan cepat siaga ke UKS dan otomatis gue bebas dari pertanyaan-pertanyaan eksekusi maut,
  • atau yang terakhir gue pura-pura amnesia kemudian tidur dan kembali bercengkrama dengan kasur berkilau.
Galau kembali.
Mencoba santai. Dan sambil putar otak, membuat alasan sedang apa dan dimana. Alhasil gue buat alasan semu, pura-pura mendadak sakit kepala sebelah atau mimisan dan berdarah-darah? Gue pilih (pura-pura) sakit karena lebih rasional dan alasannya sedikit elite. 
Tentang hari ini yang gagal ulangan akuntansi. Presentasi mapel dari guru Sunda. Dan gagal. Tapi, gue masih unggul, piala nominasi 'pelajar terbego dan pecinta kasur sejati' masih jatuh di tangan gue. Sukses menggantikan tugas asisten nyokap hari ini.
☑ Nyapu  ☑ Ngepel  ☑ Cuci-cuci  ☑ Jemur-jemur

Minggu, 15 Januari 2012

Resiko Memiliki Nama Panjangggggg

Mau bongkar sesuatu.
Bukan sesuatu, tapi identitas. Identitas (?)


     Menurut gue ini penting karena menyangkut identitas gue yang selama ini (masih) absurd buat sebagian orang. Kecuali buat mereka yang tau kronologi hidup gue dan yang udah tau kalo gue berasa udik banget gara-gara sesuatu ini. Gue mengidap sesuatu ini kurang lebih 17 tahun. Selama 17 tahun itu juga gue merasa dicekek, digantung, dikencang, dengan banyaknya pertanyaan dari orang-orang. Dan semua pertanyaan itu masih seputar topik yang sama, intinya sama! Sekali lagi, intinya sama! Jibles.

     Di awal tahun gue hidup dan 3 tahun pertama di hidup gue (semua masih) normal. Gue lahir normal, dengan perkasa dan sok kuat nyokap gue melakukan persalinan setengah medis. Iya, setengah medis, lebih tepatnya gue keluar disaat bidannya lagi nyiapin perkakas keramatnya. Gue keluar dengan bahagia pukul 22.00 WIB di menit yang ke-30 dan gue melakukan ekskresi yang pertama dan eksklusif 5 jam setelah tangisan berhenti. Ini keluar dari topik.

scared     3 tahun pertama gue hidup (semua masih) normal. Gue masih ngedot gembira, tapi kesalahan ada di berat badan gue. Semakin lama menyusut dan gue nggak bakalan terima kalo vonis busung lapar jatuh di tangan. Na'udzubillah *garuk tanah pake pantat.

     Mulai saat itu juga gue komplikasi, sakit. Kurang lebih 2,5 tahun ngobat. 2 minggu sekali antri berobat mirip antri sembako/BLT, 4 jam ngantre ketemu dokter kurang dari 10 menit, nyesek. Mungkin gara-gara sering nonton serial drama Indosiar. Serial drama elang terbang terabsurd menurut gue. Banyak orang yang bilang kalo gue sakit ada hubungannya sama yang gaib (?) Di jaman milenium sekarang ini? Tapi mungkin ada nilai kebenarannya juga. Gue sakit selang beberapa lama setelah nyokap face to face sama 'kuntilanak'. Hantu kuntilanak atau hantu kutilan yang punya anak. Entah, gue kurang paham.

Lain makhluk lain argumen. Ada yang bilang kalo gue keberatan nama? Jowone; cah cilik kaboten jeneng.
Setelah putar otak ternyata ada benernya (juga).
5 kata tapi satu nama. 35 huruf + spasi.
Cukup berat buat sekali hafalan.

Ini penampakan bed nama seragam. Disingkat sedemikian rupa tapi masih panjang.

     Oke, gue keberatan nama. Ini memungkinkan permutilasian nama akan segera digencarkan. Nama gue bakal dimutilasi, diambil tengahnya, bisa jadi cuma 'Hadi Putri' atau mungkin cuma 'Hadi' dan sekaligus gue bakalan ganti gender kalo sampe nama gue cuma sepenggal yang mirip-mirip nama jantan, 'Hadi'.
     
     Setelah rapat keluarga, rapat akbar, dengan berbagai perdebatan pasal identitas gue. Gue positive ganti nama. Alhasil nama kecil gue yang semula 'Puput' ganti jadi 'Mila'. Gue ganti nama.

     Ternyata ganti nama, ganti identitas (tanpa ganti gender). Nggak segampang garuk tanah pake pantat <--- abaikan. Ini semakin gue rasain setiap ganti jenjang pendidikan, dari SD ke SMP, juga SMP ke SMA. Setiap moment itu mengharuskan gue show on depan temen-temen baru gue. Perkenalan. Dan gue benci itu.

     Apalagi waktu gue jabarin siapa gue. Apa nama panjang gue dan apa panggilannya. Gue gemeteran. Dengan lingkungan yang baru otomatis gue harus adaptasi dan meminimalkan gerak-gerik/sikap yang bakalan jadi bumerang buat gue. Gue nggak mau kesan mereka (temen-temen gue) ilfeel waktu pertama kali liat gue.

     Sekarang giliran gue perkenalan. "Nomor urut 17 silahkan..."

    Banyak options dipikiran gue, gue mau pura-pura jatuh elegan dari kursi dan dengan benjolan fatal di jidat dengan begitu akan memudahkan untuk ngacir ke UKS, atau gue pura-pura sibuk ngitung ubin kelas. Absurd. Daripada gue dicap 'cupu' akhirnya gue pasang muka sekedarnya. Perkenalan.

"Nama saya *bla bla bla*, Umur saya *bla bla bla*, Saya dari *bla bla bla*" Temen-temen gue antusias. "Dan saya biasa dipanggil 'Mila'" *jeder. Alhasil gue berhasil memecahkan konsentrasi semua makhluk seisi kelas. Mereka tanya dengan topik yang sama.
"Kok nama panggilannya nggak ada di nama asli?"
"Bisanya dipanggil Mila?"
erkk"Siapa yang ngasih nama? Bapak kamu?"
"Bapak kamu...Bapak kamu...?"
geram     Gue diem. Gue natap mantap mereka satu-satu, gue hafalin muka siapa-siapa aja yang ketawa. Bakalan gue pojokin di gang sempit belakang sekolah, yang cowok gue cabutin bulu idungnya, yang cewek gue cabutin poninya satu-satu. Buat ngrespon pertanyaan mereka, gue kasih senyuman palsu harap-harap cemas semoga pertanyaan yang sama nggak keulang lagi. Semoga. Balik ke singgasana, dan kemudian duduk elegan. Semua baik-baik saja. 

    Tragedi ini terus dan terus keulang di minggu pertama di SMA. Memaksa gue harus bolak dari singgasana, perkenalan, dan kemudian balik lagi dengan senyuman harap-harap cemas. Ternyata ini belum cukup, penderitaan gue belum berakhir. Gara-gara nama keramat, gue kerepotan masalah registrasi, karena nggak semua orang bisa melafalkan dan nulis nama gue dengan benar. Belum lagi gimana cara masukin nama dengan ketentuan yang wajar di LJK, ini harus disingkat, lama, dan harus buletin LJK bukan dicoblos/contreng. Sempet kepikiran pengin nulis inisial nama gue, tapi huwallohuahlam. Masalah ijazah juga. Masalah mesen bed nama, gue khawatir cuma nama jantan gue yang dijahit. Dan yang masih hangat, nama gue salah cetak di SIM. Naas.

     Suka dukanya punya nama keramat. Dan mungkin lebih banyak dukanya. Gue sempet mikir kenapa orang tua gue bisa ngasih warisan nama sedemikian hebatnya? Kenapa nggak sesimple nama-nama orang dulu yang acap kali berawalan 'SU'. Mungkin kalo misalnya nama gue dapet embel-embel 'SU' alhasil jadilah SUMILA, 'SU' berarti keindahan/kebaikan, dengan begitu SUMILA = Mila yang indah. Perumusan nama yang elegan.

ehem
Namaku = Berat (?)