Minggu, 15 Januari 2012

Resiko Memiliki Nama Panjangggggg

Mau bongkar sesuatu.
Bukan sesuatu, tapi identitas. Identitas (?)


     Menurut gue ini penting karena menyangkut identitas gue yang selama ini (masih) absurd buat sebagian orang. Kecuali buat mereka yang tau kronologi hidup gue dan yang udah tau kalo gue berasa udik banget gara-gara sesuatu ini. Gue mengidap sesuatu ini kurang lebih 17 tahun. Selama 17 tahun itu juga gue merasa dicekek, digantung, dikencang, dengan banyaknya pertanyaan dari orang-orang. Dan semua pertanyaan itu masih seputar topik yang sama, intinya sama! Sekali lagi, intinya sama! Jibles.

     Di awal tahun gue hidup dan 3 tahun pertama di hidup gue (semua masih) normal. Gue lahir normal, dengan perkasa dan sok kuat nyokap gue melakukan persalinan setengah medis. Iya, setengah medis, lebih tepatnya gue keluar disaat bidannya lagi nyiapin perkakas keramatnya. Gue keluar dengan bahagia pukul 22.00 WIB di menit yang ke-30 dan gue melakukan ekskresi yang pertama dan eksklusif 5 jam setelah tangisan berhenti. Ini keluar dari topik.

scared     3 tahun pertama gue hidup (semua masih) normal. Gue masih ngedot gembira, tapi kesalahan ada di berat badan gue. Semakin lama menyusut dan gue nggak bakalan terima kalo vonis busung lapar jatuh di tangan. Na'udzubillah *garuk tanah pake pantat.

     Mulai saat itu juga gue komplikasi, sakit. Kurang lebih 2,5 tahun ngobat. 2 minggu sekali antri berobat mirip antri sembako/BLT, 4 jam ngantre ketemu dokter kurang dari 10 menit, nyesek. Mungkin gara-gara sering nonton serial drama Indosiar. Serial drama elang terbang terabsurd menurut gue. Banyak orang yang bilang kalo gue sakit ada hubungannya sama yang gaib (?) Di jaman milenium sekarang ini? Tapi mungkin ada nilai kebenarannya juga. Gue sakit selang beberapa lama setelah nyokap face to face sama 'kuntilanak'. Hantu kuntilanak atau hantu kutilan yang punya anak. Entah, gue kurang paham.

Lain makhluk lain argumen. Ada yang bilang kalo gue keberatan nama? Jowone; cah cilik kaboten jeneng.
Setelah putar otak ternyata ada benernya (juga).
5 kata tapi satu nama. 35 huruf + spasi.
Cukup berat buat sekali hafalan.

Ini penampakan bed nama seragam. Disingkat sedemikian rupa tapi masih panjang.

     Oke, gue keberatan nama. Ini memungkinkan permutilasian nama akan segera digencarkan. Nama gue bakal dimutilasi, diambil tengahnya, bisa jadi cuma 'Hadi Putri' atau mungkin cuma 'Hadi' dan sekaligus gue bakalan ganti gender kalo sampe nama gue cuma sepenggal yang mirip-mirip nama jantan, 'Hadi'.
     
     Setelah rapat keluarga, rapat akbar, dengan berbagai perdebatan pasal identitas gue. Gue positive ganti nama. Alhasil nama kecil gue yang semula 'Puput' ganti jadi 'Mila'. Gue ganti nama.

     Ternyata ganti nama, ganti identitas (tanpa ganti gender). Nggak segampang garuk tanah pake pantat <--- abaikan. Ini semakin gue rasain setiap ganti jenjang pendidikan, dari SD ke SMP, juga SMP ke SMA. Setiap moment itu mengharuskan gue show on depan temen-temen baru gue. Perkenalan. Dan gue benci itu.

     Apalagi waktu gue jabarin siapa gue. Apa nama panjang gue dan apa panggilannya. Gue gemeteran. Dengan lingkungan yang baru otomatis gue harus adaptasi dan meminimalkan gerak-gerik/sikap yang bakalan jadi bumerang buat gue. Gue nggak mau kesan mereka (temen-temen gue) ilfeel waktu pertama kali liat gue.

     Sekarang giliran gue perkenalan. "Nomor urut 17 silahkan..."

    Banyak options dipikiran gue, gue mau pura-pura jatuh elegan dari kursi dan dengan benjolan fatal di jidat dengan begitu akan memudahkan untuk ngacir ke UKS, atau gue pura-pura sibuk ngitung ubin kelas. Absurd. Daripada gue dicap 'cupu' akhirnya gue pasang muka sekedarnya. Perkenalan.

"Nama saya *bla bla bla*, Umur saya *bla bla bla*, Saya dari *bla bla bla*" Temen-temen gue antusias. "Dan saya biasa dipanggil 'Mila'" *jeder. Alhasil gue berhasil memecahkan konsentrasi semua makhluk seisi kelas. Mereka tanya dengan topik yang sama.
"Kok nama panggilannya nggak ada di nama asli?"
"Bisanya dipanggil Mila?"
erkk"Siapa yang ngasih nama? Bapak kamu?"
"Bapak kamu...Bapak kamu...?"
geram     Gue diem. Gue natap mantap mereka satu-satu, gue hafalin muka siapa-siapa aja yang ketawa. Bakalan gue pojokin di gang sempit belakang sekolah, yang cowok gue cabutin bulu idungnya, yang cewek gue cabutin poninya satu-satu. Buat ngrespon pertanyaan mereka, gue kasih senyuman palsu harap-harap cemas semoga pertanyaan yang sama nggak keulang lagi. Semoga. Balik ke singgasana, dan kemudian duduk elegan. Semua baik-baik saja. 

    Tragedi ini terus dan terus keulang di minggu pertama di SMA. Memaksa gue harus bolak dari singgasana, perkenalan, dan kemudian balik lagi dengan senyuman harap-harap cemas. Ternyata ini belum cukup, penderitaan gue belum berakhir. Gara-gara nama keramat, gue kerepotan masalah registrasi, karena nggak semua orang bisa melafalkan dan nulis nama gue dengan benar. Belum lagi gimana cara masukin nama dengan ketentuan yang wajar di LJK, ini harus disingkat, lama, dan harus buletin LJK bukan dicoblos/contreng. Sempet kepikiran pengin nulis inisial nama gue, tapi huwallohuahlam. Masalah ijazah juga. Masalah mesen bed nama, gue khawatir cuma nama jantan gue yang dijahit. Dan yang masih hangat, nama gue salah cetak di SIM. Naas.

     Suka dukanya punya nama keramat. Dan mungkin lebih banyak dukanya. Gue sempet mikir kenapa orang tua gue bisa ngasih warisan nama sedemikian hebatnya? Kenapa nggak sesimple nama-nama orang dulu yang acap kali berawalan 'SU'. Mungkin kalo misalnya nama gue dapet embel-embel 'SU' alhasil jadilah SUMILA, 'SU' berarti keindahan/kebaikan, dengan begitu SUMILA = Mila yang indah. Perumusan nama yang elegan.

ehem
Namaku = Berat (?)   







Tidak ada komentar:

Posting Komentar