Jumat, 06 Juli 2012

Proses Menuju Kedewasaan

Sebelum kalian terjun terlalu dalam ada baiknya review diri masing-masing untuk flashback ke 3-4 tahun lalu. Untuk apa? Setidaknya untuk tidak men-judge secara mentah-mentah karena saya sebagai orang pertama pelaku utama, yang mungkin setelah kalian pahami postingan ini saya dinobatkan sebagai '(mantan) anak alay'. Oke! Gamblangnya begini, menurut Raditya Dika's quote alay itu proses menuju kedewasaan. Jadi? Setiap orang yang berpredikat 'dewasa' pernah alay? Bisa iya bisa tidak. Kedewasaan seseorang tidak hanya dijamin dari perolehan piagam kelulusan masa alay. Seseorang yang pernah mengalami (h)earthquake berarti dia telah dewasa. Akan tetapi, di lain kasus, kedewasaan acap kali diiringi perkembangan aliran alaynisme dalam sanubari seseorang. Entah karena nyaman dengan mantel predikat alaynismenya, atau karena atmosfer lingkungan yang mau tidak mau memaksa seseorang untuk tetap melestarikan kebudayaan alaynya ke cucu cicitnya. Ironi.

Sip. Sebelum paragraf sambutan di atas mengaret terlalu jauh, kita bertemu di titik.

3-4 tahun lalu tepatnya saya terlihat masih muda dari 3-4 tahun setelahnya (?) Seragam putih biru yang cenderung warna 'peach' (re; buthek) karena termakan usia untuk atasannya, dan biru donker dengan ledakan sinar matahari ditiap lipatan rok. Dilengkapi dengan embel-embel seragam yang rusak pesonanya oleh bayclin. Perpaduan warna yang menjadi saksi bisu masa peralihan saat itu. 

Seragam kebanggaan yang dipakai Senin-Sabtu, dari 07.00 dan tidak jarang sampai 10 jam setelahnya, 17.00. Tenggang waktu yang cukup lama untuk ukuran efektif jam belajar di sekolah? Lama? Ah sebentar~ Selebihnya menghabiskan waktu dengan rekan-rekan senasib sepenanggungan. Termasuk, menghabiskan/melewati masa peralihan (alay) dengan mereka, orang-orang yang bernasib naas karena bertemu spesies macam saya.

SMP, kelas 8 = masa kemerdekaan. Tanpa buku, dengan main, tanpa buku, dengan main, penghapusan jam belajar, catatan serba foto kopi, hutang (masalah perut) dimana-mana, termasuk masalah hati #abaikan. Masa-masa yang ...

Penuh kelabilan.

Labil ketika harus menentukan pembagian basgor Rp 1000,00 untuk 9 porsi. Menuju ke sudut gang, tempat dimana saya dan mereka menikmati masa kemerdekaan, tempat bertegur sapa, tempat pelarian saat jam pelajaran tambahan. Kita sebut basecamp. Realitanya tidak seelite namanya, cukup dengan sebuah gardu dan rumah. Jelasnya berada di sebuah pertigaan, cukup strategis  sebagai jalur lalu lintas pedagang basgor ditambah dengan keberadaan kolam lele di beranda rumah *anggap saja ada hubungannya*.   Benar-benar sikon yang tepat untuk menghabiskan waktu berkualitas. Perlu bukti? Konsentrasikan saja pada gambar di bawah ini. Cukup! Ini 3-4 tahun yang lalu dengan segala ... kealayan yang mmm? cukup mencolok mata. Basah kuyup sampai menganggap bahwa kita (saya dan mereka) adalah sangat keren. Sebenarnya masih banyak gambar eksklusif lainnya, akan tetapi atas dasar perlindungan nama baik dan pencegahan penurunan reputasi di masa mendatang, bukti otentik sengaja saya hidden dari khalayak umum.


Tingginya kreativitas atau mungkin karena faktor turunan gen dari leluhur mereka, alhasil munculah berbagai tindakan di luar penalaran, sedikit autis, tapi benar-benar kreasi berkelas. Sepulang sekolah, entah karena niat atau adanya kesempatan, kewaspadaan sangat diperlukan bagi mereka (teman-teman saya) yang menitipkan sepeda ontel di kawasan basecamp. Lengah sedikit saja, dan tidak tiba tepat waktu di gardu, diantara mereka harus rela mendapati sepeda ontelnya menjadi wujud seperti gambar di bawah ini. Naas~


Dari kejauhan sekilas tampak seperti sepeda yang diperuntukkan bagi pasukan ontel berani mati. Berbagai ornamen menarik menghiasi sisi demi sisinya. Mulai dari superhelm, mangga harum manis, perkakas rumah tangga, dan tentunya sebuah spanduk demam berdarah. 


Kreativitas ini baru pertama kali dipublikasi. Semoga untuk ke depannya muncul sebuah terobosan baru yang berawal dari hal kecil semacam ini. Namun, belum ada bayangan 2 kendaraan hasil modivikasi ini dipergunakan sebagai mana mestinya, mengendari sambil mengibarkan bendera mengitari pelosok desa. Akan memorable tentunya :')

Belum cukup itu saja, jika diamati di setiap keterangan di sebelah kanan gambar ... Yap! Tidak perlu saya jelaskan panjang dan lebarnya, kalian bisa menemukan bukti otentik lainnya dari bahasa di tiap rangkaian katanya.

Jadi, istilah 'haish alay teriak alay' perlu dipikirkan matang-matang dalam setiap penggunaannya, karena sadar maupun tidak, (mungkin) kita pernah terjerumus ke lubang alaynisme, semacam aliran kebudayaan dari planet tetangga. Asal masih dalam batasan normal dan tidak mengganggu dalam bersosialisasi, itu masih menjadi hak mereka-mereka dalam berprinsip, bertaubat atau akan meneruskan ke generasi berikutnya ^^V

*nb: InsyaAlloh diketik dalam keadaan proses taubat*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar