Jumat, 10 Agustus 2012

Karena Cinta Itu Emosi Bukan Definisi

1 potek terakhir cokelat ini mungkin bisa mewakili sepersekian emosi yang belum sempat tersampaikan. Aku merebah. Memberi kesempatan benang kusut untuk terurai dengan sendirinya di otak. Masih di zona nyaman, sekali lagi aku mulai memberi kesempatan benang itu untuk merangkai imajinasi dengan posisi saat itu yang sangat mendukung, memandang langit-langit kamar dan masih dengan playlist musik klasik menenangkan.
Musik ini seakan menuntunku untuk memaksa memutar memori yang sempat terekam.
Hari ini, tentang sebatang cokelat yang tidak lebih panjang dari mistarku tapi berhasil mengarahkanku untuk kembali ke kosa kata sederhana, 'cinta'. Siapapun yang pernah jatuh karena cinta tidak akan pernah bisa mendefinisikan apa dan mengapa cintanya bisa jatuh di sebuah objek. Karena cinta itu emosi bukan definisi, dan berdebat tentang cinta tidak akan berujung. Itu anugerah, katanya. Semua objek berhak merasakan dan menyampaikan rasa yang selama ini menjadi alasan untuk tersenyum. Menyampaikan dengan takaran yang pas.
Mengubah bahasa hati lewat frasa, kalimat, menjurus ke alinea penuh makna untuk dia yang tersayang. Bukan hal mudah menyampaikan apa yang sebenarnya hati rasakan.  Butuh nyali yang benar-benar 'laki'. Butuh emosi yang bisa menyampaikan tepat mengena di relung hatinya. Bukan sekedar berani merealisasikan lewat tutur kata yang terurai. Bukan sekedar aku suka kamu. Apalagi tentang... ya, semua gombalan dari penjilat lihai.
Ketika hati mengeja, mataku membaca lalu membayangkan dan menafsirkan makna terdalam lewat matanya. Tentang sebuah rasa yang lama berkerak saat itu meletup meledak dan tersampaikan lewat mata yang bicara. Benar-benar emosi dari hati tercermin dari sepasang bola matanya. Aku yakin kali pertama. Benar-benar sebuah rasa yang sudah terlanjur terpalung dalam.
Diam memaksaku untuk mengabaikan kode hati, ketika penyesalan yang ada sempat melintas. Melewatkan apa yang seharusnya bisa benar-benar merasakan sebuah ketulusan.
Menyesal. Menyesal. Menyesal tidak bisa memberi timbal balik yang serupa untuk sebuah emosi. Menyesal membiarkan harus ada yang merasakan perih untuk kesekian kalinya. Menyesal.
Entah helaan nafas ke berapa yang mengiringi, entah harus berapa lama menghela sedangkan semakin lama semakin tidak bisa diungkapkan. Speechless. Untuk skenario hari ini setidaknya emosi yang terpalung itu sempat meledak walaupun objek benar-benar mengecewakan. Menghancurkan skenario yang seharusnya termanis.
Maaf untuk lukanya. Untuk siapapun objeknya lakukan yang terbaik untuk dia yang tersayang. Untuk apapun timbal balik yang kalian terima, kalian hebat setidaknya berani keluar dari zona pecundang. Untuk kesempatannya setidaknya terima kasih sempat merealisasikan. Untuk siapapun yang kalian harapkan, untuk siapapun yang kalian cinta. Lakukan sebelum penyesalan datang.

1 komentar: