Aku nggak berangkat.
Hehe.
Akhirnya apa, nggak pulang?
3 kalimat singkat dan tidak berbobot aku balas dengan ketikan sms super
cepat dari jari-jemariku.
Ih lah lucune haha balik ke rumah
lagi dong?
Tapi jangan mengejek ya, aku mau cerita.
Itu contoh perbincanganku di sms dengan keturunan Adam yang ku kenal 1
tahun lalu. Namanya Ano, bukan nama sebenarnya, dan sengaja aku samarkan karena
aku tidak ingin ada pihak ketiga yang tahu, cukup aku dan dia.
28 April 2011, aku menceritakan sebuah pengalaman konyol padanya. Entah
karena aku mempunyai rasa percaya diri yang tinggi atau memang sebuah realita,
aku merasa dia terhibur karenaku. Hal ini terbukti dengan adanya kata ‘hahaha’ pada
sms yang dia kirim.
***
“MasyaAlloh, aku kesiangan.”
Jarum di jam weker bututku hampir membentuk sudut 180°, dan itu artinya
tidak lama lagi pukul 06.00 WIB. Aku heran, tidak henti-hentinya aku selalu
memberikan kasih sayang ke jam itu, bahkan kasih sayang yang aku berikan lebih
banyak dari yang ku berikan pada mantan-mantanku, namun tidak henti-hentinya
pula jam itu selalu bersikap acuh tak acuh. Karena sikapnya yang acuh, aku
sering maraton ke sekolah, sering mendapatkan marabahaya, dan pastinya semua
itu gara-gara jam bututku sayang. Untuk ke sekian kalinya aku telat, dan untuk
ke sekian kalinya pula aku memaafkan kinerja jam bututku yang semakin lama
menurun dan jauh dari peningkatan etos kerja.
“Oke, kali ini aku memaafkanmu sayang, itu karena hari ini hari
spesialku, aku akan kencan selama kurang lebih 1 jam dengan fisika.”
Segera aku kerahkan jiwa dan ragaku untuk bangun karena memang separuh
jiwaku masih bereuphoria dengan alam bawah sadar. Aku berjalan loyo menghampiri
sebuah benda hijau yang tidak lain adalah kipas anginku yang bunyinya mirip
alat pemotong padi, ‘klek’ begitulah bunyinya saat ku matikan. Walaupun begitu
realitanya, kipas angin itu tetap ku sayangi sepenuh hati. 2 langkah menjauh
dari kipas, aku dikagetkan oleh suatu hal. Mulutku menganga penuh makna melihat
hal itu. Sesosok wanita yang masih tergolong anak baru gede berdiri dengan loyo
di depanku. Aku bisa melihatnya jelas dengan kedua mataku yang sebenarnya agak
rabun ini. Aku kaget. 3 langkah ke depan mendekati tubuh itu. Aku pun mulai
merasakan gejolak seiring jantungku memompa darah lebih cepat dari biasanya.
Merinding. Sesosok itu berpenampilan lusuh, dengan mahkota seperti rambut singa
dan bahkan lebih parah nampaknya. Wajahnya relative
jika dihitung dengan nilai cukup mendapatkan nilai 75. Sejenak aku termenung,
mencoba mendekat, terus mendekat. Sampai akhirnya aku mencapai klimaks
keteganganku.
“Astaghfirullohaladzim.”
Ternyata itu pantulan potret diriku dari kaca. Hahaha, memang jika
dilihat-lihat, keadaanku saat bangun dari alam bawah sadar seperti gelandangan
3 bulan dengan tampang penuh keibaan.
Langsung saja aku menuju sumber air untuk sekedar membuat wajahku ini
lebih fresh dari sebelumnya. Aku
mandi. Kali ini aku mandi secepat kilat dan mungkin berhasil memecahkan rekor
waktu tercepat untuk membersihkan diri kategori pelajar.
Bisa dibilang kegiatan maratonku kali ini tidak kalah dengan atlet
maraton kawakan. Aku mengambil langkah seribu berjalan keluar kamar dan rumah.
“Aku berangkat, Bu ! Assalamu’alaikum !”
“Wa’alailkumsalam.”
Ibuku menjawab dengan ekspresi dan suara datar, mungkin heran dengan
tingkahku kali ini yang seperti orang yang sedang dikejar lintah darat.
“Eh, maaf lik !”
Tiwi dan Dinda menatapku dengan raut wajah yang tidak jauh datar dari
tatapan ibuku tadi. Tanpa menanyakan seribu alasan, mereka mengerti keadaanku,
karena sudah pasti jika aku datang dengan wajah tanpa dosa, itu karena
dikejar-kejar durasi.
Tidak lama kemudian kami naik kereta kencana, angkot. Aku, Tiwi, dan
Dinda selalu duduk di seat favorit
kami masing-masing. Kali ini kami bertiga bernasib naas, angkot yang kami
tumpangi jauh dari executive class, tanpa
musik dangdut remix, dan dengan
fasilitas jok yang mirip bangku di warteg pinggiran. Mencoba bersabar, karena
kami yakin Alloh mempunyai banyak mutiara rencana dibalik kesialan pagi ini. Itu
belum seberapa dengan kasus-kasus konyol yang sering kami alami. Mulai dari
kasus ambrolnya knalpot angkot,
diturunkan di tengah perjalanan, bahkan sering kali terjadi duel maha dahsyat
antar angkot yang berjuang mempertahankan kekuasaannya masing-masing.
Awalnya, kami masih bisa duduk manis
menikmati angkot super ini, super hancur. 1 menit, 2 menit, 3 menit, dan
menit-menit selanjutnya kami merasakan adanya kejanggalan.
“Sstt, denger nggak ?”
Aku melirik ke arah Dinda yang nampaknya sedang dilanda kantuk tingkat
dewa.
“Hmmm, bunyinya kaya di Hok Tek Bio ya ?”
Sebuah klenteng di Gombong yang pernah aku lewati bersama Dinda.
Tanpa menjelaskan seribu kata, Tiwi yang saat itu masih dalam keadaan
terjaga mengerti makna dari pembicaraanku dengan Dinda. Terdengar samar samar
alunan musik beretnis kecinaan. Rupanya salah seorang penumpang yang duduk
berdampingan dengan driver nampak
menebarkan senyum kuda liar sambil menikmati lagu. Bagaimana mungkin dengan
percaya diri orang tersebut mendengarkan alunan musik dan berdendang dengan volume maksimal tanpa menghiraukan
sekelilingnya yang saat itu semua mata penumpang tertuju padanya. Acap kali,
beberapa penumpang lain tersenyum kecil malu-malu saat melihat tingkah bodoh
penumpang itu. Tanpa disadari penumpang itu bergoyang seirama dengan irama
musik etnis cina tersebut, memutar kepala mengangguk-angguk dan tersenyum kuda
liar. Hahaha, rasanya ingin melampiaskan hasrat tawa yang sudah mencapai puncak
ubun-ubun ini.
16 km lebih kami lalui dengan suasana penuh kejanggalan. Pastinya sambil
menyembunyikan tawa dalam benak. Aku yakin penumpang selain kami juga merasakan
hal tersebut. Alhasil pagi ini menjadi sajian penghibur luka lara pasca mendalami
ilmu fisika.
***
‘Drrt Drrrt Drrt’ 1 new message from Ano.
Ini kayanya sms terpanjangmu deh selama kita
kenal.
Hahaha. Terus terus?
Aku tersenyum membaca 1 pesan
darinya. Sesuai dengan fungsi sms, short
message service yang dia kirim selalu dan selalu singkat. Aku pun begitu
padanya, tanpa berpikir yang muluk-muluk ku balas sms sekenanya.
Haha ya gitu deh.
Abis itu ya uts lah.
***
Penjaskes, aku hanya tersenyum sinis memandang soal. Nampaknya dewi
Fortuna berpihak padaku. Cukup dengan durasi 30 menit lebih sekian detik semua
soal berhasil ku matikan. Rasa percaya diri meyelimuti kalbu. Sesekali aku melihat
teman yang nampak berpusing-pusing mengerjakan, dan dengan bangga kali ini aku
bisa tersenyum penuh kemenangan. Karena itu pula, selama kurang dari 1 jam aku
mengerjakan soal dengan santai dan tidak hiperaktif seperti biasanya. 45 menit
berlalu dengan penjaskes.
Mungkin karena terlalu gembira atau terlalu percaya diri nasib naas saya
rasakan. Fisika ! Aku menyiapkan semua armada untuk melawan keganasan dari
fisika nanti.
Duduk. Bruuuuuug. Lembar soal dibagikan. Halaman 1, menarik nafas dalam-dalam
sambil kontraksi perut. Halaman 2, menghela nafas dalam-dalam. Halaman 3, yang
pasti aku tidak sampai mengeluarkan nafas dan ampasnya melalui belakang. Halaman
terakhir, sambil membuka, nyaris serentak jantung rontok, badan tergelepar-gelepar
sambil kejang nampak orang ayan yang sedang kambuh stadium 4. Innanilahi. Ini
soal kelas kakap.
“Sedangkan bagaimana dengan aku yang kelas teri ?”
Hanya terdiam meleleh dan menciut menghadapinya. Serasa dunia akan
memangsaku. Aku memang diharuskan banyak bertawakal, perbanyak dzikir, dan
tahlil saat menghadapi fisika ini. Bayangkan saja, semua soal nyaris jauh dari
pemikiran akal sehat. Hanya orang kelas kakap yang sanggup menaklukannya. Aku
mati kutu. Mencoba berdiam diri dan berdo’a itu tidak mungkin aku lakukan.
“Ya Alloh Ya Tuhanku, tolonglah beri hamba-Mu ini pencerahan ?”
Sambil mengeluarkan suara kecil, aku berdo’a memohon agar mendapat
mukjizat dari-Nya. Mungkin tiba-tiba muncul jawaban yang paling bersinar yang
nantinya akan ku pilih. Aku selalu berharap hal itu. Kali ini aku hiperaktif,
bukan karena ingin merepek jawaban
teman, tapi aku hanya memastikan situasi dan kondisi teman-temanku. Hahaha,
ternyata benar saja, sebagian dari temanku mencoba berfantasi ke alam bawah
sadar. Mungkin mereka mual menghadapi soal macam fisika ini dan terpaksa
memilih memejamkan mata sejenak. Aku pun sempat tertawa kecil melihat temanku
yang tidur dengan memasang wajah tanpa dosa.
Tidak mau berlama-lama berkutat dengan soal yang menyebabkan efek
samping, aku keluar ruangan. Aku jatuhkan tubuhku. Melirik kembali soal fisika
tadi tapi rasanya tubuh ini semakin tak berdaya setiap ku jatuhkan lirikan demi
lirikan ke lembar soal. AKU DIMATIKAN SOAL!.
“Sial ! Soal apaan itu, romawi
2 aku nggak ada yang bisa ngerjain.”
Dengan lantangnya Tiwi menyuarakan isi hatinya.
“Aku malah nggak berani liat soal, takut.”
Sambung Dinda dengan polos.
Sementara Ninda, Nimas, dan Fitri memilih diam. Mungkin mereka sudah
terlalu muak dengan hari ini. Mungkin juga mereka enggan menyuarakan isi
hatinya dan sumpah serapahnya. Tapi, yang jelas, Aku, Tiwi, Dinda, Ninda,
Nimas, dan Fitri pasrah.
Dari kejauhan nampak seorang gadis berlari-lari kecil menghampiri kami.
“Gimana, bisa?”
Serentak kami menanyakan hal yang sama.
“Enggak dong, hahaha.”
Ternyata Ela yang kami kira membawa kabar gembira lebih parah dari kami.
Payahh !
***
Kalo aku udah alergi banget sama
fisika.
Lagi-lagi dia membalas dengan singkat,
sangat singkat karena hanya 33 karakter.
***
Aku, Tiwi, Dinda, Ela, Ninda, Nimas,
dan Fitri, sekelompok pelajar pantang menyerah melawan arus keganasan dunia
pendidikan. 13.00-17.45 WIB, waktu yang cukup lama hingga membuat pantat kami tepos karena duduk. Selama itu pula kami
dicekoki dengan soal-soal kimia,
maklum besok pertempuran akan dimulai kembali dimulai. Entah anugerah entah
musibah hari ini terasa hari paling jahanam sedunia, bagiku khususnya.
Untungnya di tempat les tersedia banyak pacitan,
cukup lumayan untuk memanjakan cacing yang telah lama berdendang.
Kami berharap ini akan menjadi perjuangan yang manis. Mati listrik pun
bukan suatu halangan bagi kami untuk tetap fokus kali ini. Jika diizinkan
memilih, aku lebih memilih mengerjakan 200 soal penjaskes daripada 40 soal
kimia yang tidak kalah sulit dengan fisika. Apapun, itu adalah resiko, resiko
bagiku bersekolah di SMANSA, sekolah yang sebelumnya tidak pernah aku pikirkan
untuk masuk kedalamnya.
Sepulang les, kami berlima, Aku, Tiwi, Dinda, Ninda, dan Ela duduk di
perempatan jalan, kebetulan Fitri dan Nimas pulang lebih awal dari kami. Mirip
gembel yang sedang mencari dermawan berbaik hati mengantarkan pulang ke istana
masing-masing. Maklum saja kereta kencana yang kami tunggu dan berharap
mendapat executive class tak kunjung
datang. Matahari sudah enggan menyinari langkah kita, dan tibalah waktu maghrib.
Serangan lapar tiada kentara macam korban penjajahan sedang meradang. Sementara
itu belum ada kepastian siapa yang menjemput kami dan kami akan pulang atau
menggelandang di sini.
***
Mau kopi nggak ?
Mungkin suatu saat nanti dia akan
dinobatkan sebagai kopilovers sejati,
maklum, hari-harinya selalu ditemani kopi. Hingga aku sempat menjulukinya
sebagai bandar kopi.
Sampai selarut ini dia masih aktif
membalas pesan dariku.
Terus akhirnya pulang gak tuh ?
***
Alloh memberikan kebahagian dari berbagai cobaan yang kami terima. Alhamdulilah.
Kami mendapat sebuah kabar kegembiraan. Luapan ekspresi riang gembira mengalahkan
rasa lapar. Muka kami penuh harapan, terutama Dinda yang sudah sangat ingin tepar, berharap akan naik kendaraan dan kami
akan berleyeh-leyeh di dalamnya.
Sempat terpikir akan berjalan kaki Kebumen-Gombong, tapi itu mustahil,
alhasil seluruh persendian dan tulang-tulang pasti akan copot dari engselnya.
Taraaaaaaaaaaaa ! Entah musibah atau anugerah yang penting kami berlima dapat pulang
dan menginjakan kaki di istana masing-masing. Dari kejauhan sorotan lampu mobil
yang terang memecah kegelapan malam saat itu di depan SPENZA, transportasi yang
nantinya akan menjadi singgasana kami untuk sejenak merilekskan pantat yang tepos tiba. Sebuah pick-up ! Aku ulang sekali lagi, PICK-UP !
“Gila, ini serius kita bakal naik
ini ?, naik dimana coba ?”
Tiwi yang kelihatannya paling shock
melihat realita yang ada.
Kami berdebat, kaget, malu, dan masih tidak percaya. Ironis sekali jika
pada akhirnya kami terpaksa pulang dengan menahan malu karena ulah pick-up ini.
“Uwislah, uwis, pada arep bali ora
?”
Aku sengaja meyakinkan teman-temanku dengan logat ngapak yang selalu ku lestarikan. Seolah mereka terhipnotis oleh
sugesti yang ku berikan. Hingga akhirnya kami memperdebatkan siapa yang akan
naik terlebih dahulu ke bak pick-up
tersebut.
Konyol. Bagaimana mungkin kami berlima akan duduk beriringan bersama dan
nampak seperti rombongan yang akan mendatangi hajatan di suatu tempat. Aku malu
! Teman-temanku mendadak seperti kepiting rebus yang siap santap, menahan malu
juga pastinya. Apalagi saat itu kami masih berseragam identitas SMANSA. Apa
reaksi orang yang akan melihat kami yang macam karapan kambing ini ? Mau di
taruh mana muka-muka imut kami ini ? Apapun yang terjadi kami harus mau. Orang
disekeliling kami sempat tertawa bahagia melihat penderitaan ini.
Berpasang-pasang mata melihat aksi heboh kami yang sedang duduk di bak pick-up ini. Dengan fasilitas AC super alami sumilir dan view alam yang terjangkau kami menikmati ini semua.
Melawati alun-alun, melewati keramaian Kebumen.
Walaupun di luar sana
kami nampak seperti badut hiburan. Kami menikmati ini dengan suka cita,
melebihi euphoria saat bantara yang kebetulan kasusnya sama, yaitu sama-sama
berada di bak kendaraan, namun ini berbeda, kali ini kami duduk bersama-sama di
mobil pick-up.
Pengalaman pertamaku dan mungkin akan menjadi yang pertama dan terakhir.
Entah akan mengulanginya lagi atau tidak. “Jika tua nanti kita tlah hidup
masing-masing, ingatlah hari ini.” Aku mencoba menghibur teman-temanku yang
tampak frustasi menahan malu dengan suaraku yang merdu ini, merusak dunia. Hari
itu, Aku, Tiwi, Dinda, Ela, dan Ninda berhasil menorehkan sejarah baru. Kami 5
pelajar beruntung yang berhasil mendapatkan kesempatan untuk duduk di bak pick-up. Terima kasih kepada pihak X
yang telah berkenan memberikan fasilitas transportasi super mewah.
***
Hahaha.
Kalo aku liat gak cuma nyengir kok.
Bakal sakit perut aku nih :D
Aku
tersenyum.
Itu jadi pengalaman yang paling
seru,
menahan malu dari Kebumen-Gombong.
Haha. Semoga nggak sia-sia deh.
Sepertinya
dia terhibur dengan perbincangan ini.
Iya. Apapun hasilnya besok. :)
***
Eh aku duluan ya ?
Mau berfantasi dulu.
:)
28 April 2011, malam itu aku dan dia
saling bertukar cerita. Dia mengajarkanku akan banyak hal. Padahal niatku
berbagi hanya untuk menghiburnya semata, yang kebetulan sms pertamanya hanya
sebuah emoticon sedih. Terkadang
jalan yang ditempuh untuk mencapai sebuah tujuan tidak selamanya mulus,
pastilah suatu saat nanti bertemu tikungan, perempatan, bahkan simpang lima seperti saat aku dan
teman-temanku melewatinya memakai pick-up malam itu. Setiap perjuangan yang
dilakukan pasti membuahkan hasil, apapun itu walaupun hanya secuil pengalaman,
tapi berharga.
-KKFHP-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar